Skip to main content

Masjid Agung Banten




Selain sebagai obyek wisata ziarah, Masjid Agung Banten juga merupakan obyek wisata pendidikan dan sejarah. Dengan mengunjungi masjid ini, wisatawan dapat menyaksikan peninggalan bersejarah kerajaan Islam di Banten pada abad ke-16 M, serta melihat keunikan arsiteksturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu Jawa, Cina dan Eropa.

Sejarah pendirian Masjid Agung Banten berawal dari instruksi Sultan Gunung Jati kepada anaknya, Hasanuddin. Konon, Sunan Gunung Jati memerintahkan kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih “suci” sebagai tempat pembangunan Kerajaan Banten. Setelah mendapat perintah ayahnya tersebut, Hasanuddin kemudian shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah untuk mendirikan kerajaan.

Konon, setelah berdoa, secara spontan air laut yang berada di sekitarnya tersibak dan menjadi daratan. Di lokasi itulah kemudian Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta sarana pendukung lainnya, seperti masjid, alun-alun, dan pasar. Perpaduan empat hal: istana, masjid, alun-alun, dan pasar merupakan ciri tradisi kerajaan Islam di masa lalu.

Keunikan arsitektur Masjid Agung Banten terlihat pada rancangan atap masjid yang beratap susun lima, yang mirip dengan pagoda Cina. Konon, masjid yang dibangun pada awal masuknya Islam ke Pulau Jawa ini desainnya dirancang dan dikerjakan oleh Raden Sepat. Ia adalah seorang ahli perancang bangunan dari Majapahit yang sudah berpengalaman menangani pembangunan masjid, seperti Demak dan Cirebon.

Selain Raden Sepat, arsitek lainnya yang ditengarai turut berperan adalah Tjek Ban tjut, terutama pada bagian tangga masjid. Karena jasanya itulah Tjek Ban Tjut memperoleh gelar Pangeran Adiguna.

Kemudian pada tahun 1620 M, semasa kekuasaan Sultan Haji, datanglah Hendrik Lucaz Cardeel ke Banten, ia seorang perancang bangunan dari Belanda yang melarikan diri dari Batavia dan berniat masuk Islam. Kepada sultan ia menyatakan kesiapannya untuk turut serta membangun kelengkapan Masjid Agung Banten, yaitu menara masjid serta bangunan tiyamah yang berfungsi untuk tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan. Hal ini dilakukan sebagai wujud keseriusannya untuk masuk Islam. Karena jasanya tersebut, Cardeel kemudian mendapat gelar Pangeran Wiraguna.

Menara masjid tersebut terletak di sebelah timur masjid. Menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, dengan diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, pengunjung harus melewati 83 buah anak dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara ini, pengunjung dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Pada zaman dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, bangunan ini difungsikan sebagai menara pandang ke lepas pantai. Selain itu, menara ini juga digunakan oleh masyarakat Banten untuk menyimpan senjata pada masa pendudukan Belanda.

Selain menara, pada bagian depan masjid terdapat alat pengukur waktu shalat yang berbentuk lingkaran, dengan bagian atas berbentuk seperti kubah. Ada bagian atas kubahnya ditancapkan kawat berbentuk lidi. Melalui bayangan dari kawat itulah dapat diketahui kapan waktu shalat tiba.

Keunikan lainnya nampak pada umpak dari batu andesit yang berbentuk labu dengan ukuran besar. Undak-undak batu ini terdapat di setiap dasar masjid, pendopo, dan kolam untuk wudhu. Undak besar seperti ini tidak terdapat di masjid-masjid di Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan masjid Kesultanan Mataram di daerah Plered, Bantul, Yogyakarta. Begitu pula dengan bentuk mimbar yang besar dan antik, tempat imam yang berbentuk kecil, sempit, dan sederhana juga menunjukkan kekhasan masjid ini.

Di serambi kiri masjid ini terdapat makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar (Sultan Haji). Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu Masmudah.

Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten, Indonesia.

Masjid Agung Banten berada sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Pengunjung dapat menuju lokasi dengan kendaraan pribadi atau naik bus. Dari Terminal Pakupatan, Serang, Pengunjung dapat melanjutkan perjalanan dengan bus jurusan Banten Lama dengan tarif Rp 4.000 atau dapat juga mencarter angkot dengan biaya sekitar Rp 40.000 (Juni 2008). Perjalanan dari Terminal Pakupatan, Serang, menuju ke lokasi masjid memerlukan waktu sekitar setengah jam.

Memasuki kawasan obyek wisata Masjid Agung Banten tidak dipungut biaya. Namun, apabila memasuki tempat-tempat seperti menara, tempat wudhu, dan kompleks makam sultan, pengunjung diwajibkan membayar rata-rata Rp 1.000.

Di sekitar masjid ini terdapat penginapan, warung telekomunikasi, dan warung yang menjual aneka jajanan. Selain itu, banyak kios yang menjual perlengkapan sholat, tasbih, kaset rohani, VCD musik, pakaian dewasa dan anak-anak, serta cenderamata suku asli Banten, yaitu suku Baduy. (Wta/09)

Keistimewaan

Keunikan arsitektur Masjid Agung Banten terlihat pada rancangan atap masjid yang beratap susun lima, yang mirip dengan pagoda Cina. Konon, masjid yang dibangun pada awal masuknya Islam ke Pulau Jawa ini desainnya dirancang dan dikerjakan oleh Raden Sepat. Ia adalah seorang ahli perancang bangunan dari Majapahit yang sudah berpengalaman menangani pembangunan masjid, seperti Demak dan Cirebon. Selain Raden Sepat, arsitek lainnya yang ditengarai turut berperan adalah Tjek Ban Tjut, terutama pada bagian tangga masjid. Karena jasanya itulah Tjek Ban Tjut memperoleh gelar Pangeran Adiguna.

Kemudian pada tahun 1620 M, semasa kekuasaan Sultan Haji, datanglah Hendrik Lucaz Cardeel ke Banten, ia seorang perancang bangunan dari Belanda yang melarikan diri dari Batavia dan berniat masuk Islam. Kepada sultan ia menyatakan kesiapannya untuk turut serta membangun kelengkapan Masjid Agung Banten, yaitu menara masjid serta bangunan tiyamah yang berfungsi untuk tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan. Hal ini dilakukan sebagai wujud keseriusannya untuk masuk Islam. Karena jasanya tersebut, Cardeel kemudian mendapat gelar Pangeran Wiraguna.

Menara masjid tersebut terletak di sebelah timur masjid. Menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, dengan diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, pengunjung harus melewati 83 buah anak tangga dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara ini, pengunjung dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Pada zaman dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, bangunan ini difungsikan sebagai menara pandang ke lepas pantai. Selain itu, menara ini juga digunakan oleh masyarakat Banten untuk menyimpan senjata pada masa pendudukan Belanda.

Selain menara, pada bagian depan masjid terdapat alat pengukur waktu shalat yang berbentuk lingkaran, dengan bagian atas berbentuk seperti kubah. Pada bagian atas kubahnya ditancapkan kawat berbentuk lidi. Melalui bayangan dari kawat itulah dapat diketahui kapan waktu shalat tiba.

Keunikan lainnya nampak pada umpak dari batu andesit yang berbentuk labu dengan ukuran besar. Umpak batu ini terdapat di setiap dasar tiang masjid, pendopo, dan kolam untuk wudhu. Umpak besar seperti ini tidak terdapat di masjid-masjid lain di Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan masjid Kesultanan Mataram di daerah Plered, Bantul, Yogyakarta. Begitu pula dengan bentuk mimbar yang besar dan antik, tempat imam yang berbentuk kecil, sempit, dan sederhana juga menunjukkan kekhasan masjid ini.

Sumber : Posted by ciebal

Comments

Popular posts from this blog

Sevent Segmen Arduino

Salah satu topik yang menarik untuk dibahas untuk malam ini , sambil datangnya waktu shubuh ( pagi ). Banyak sekali project yang dapat dibuat. Beberapa contohnya adalah jam digital dengan seven segment, stopwatch dengan 7 segment atau display jam sholat digita l yah walaupun sudah banyak yang membahasnya. Untuk membuat alat yang saya sebutkan diatas,  perlu memahami dulu bagaimana cara untuk memprogram seven segment menggunakan arduino . Karena dasar dari itu semua adalah menyalakan seven segment sesuai keinginan. Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk memprogram 7 segment. Beda metode beda juga rangkaian yang digunakan. Salah satu metode yang sangat sederhana dan tidak membutuhkan banyak rangkaian adalah metode scanning . Apa itu metode scanning ?? Yuk lanjutkan baca sampai selesai yaa !! metode ini akan saya gunakan untuk matakuliah yang saya akan ajarkan...... Apa Itu Metode Scanning ?? Salah satu metode memprogram seven segment yang banyak digunakan adalah metode

74hc595 Shift Register

IC  74HC595   Arduino. penghematan pin arduino 74HC595  adalah IC ( integrated circuit , sirkuit elektronika terpadu) dari keluarga TTL seri 74 xx yang berfungsi sebagai  Shift Register . Kami menjual IC ini dalam 2 pilihan kemasan / packaging: versi DIP-16 ( Dual In-line Package  16 pin, 4 IC per paket) dan versi SMD ( Surface Mounted Device , 74HC595D, 5 IC per paket). Komponen elektronika ini memiliki register (kumpulan  flip-flop ) sepanjang 8-bit yang menerima masukan secara serial dan keluaran paralel dalam 8-pin keluaran. Data masukan disimpan pada register penyimpanan tipe-D sepanjang satu byte (8 bit D-type  storage register ). Gambar IC  74HC595   Gambar Schematic  74HC595   Di bawah ini adalah contoh rangkaiannya